Jejak Pecinan di Jalan Tendean

Bangunan berlantai dua di tepi persimpangan Jalan Kapten Piere Tendean, Kelurahan Karangrejo, Banyuwangi itu mulai merapuh. Temboknya mengelupas dengan warna cat putihnya yang luruh. Lantai bawah adalah toko yang Minggu siang 23 Februari lalu hanya terbuka separuh. Nampak ruang dalam toko yang sunyi dan gelap. Beberapa bungkus rokok berbagai merek dan botol bir bintang berjajar di etalase kaca.

Rumah toko itu dihuni oleh Seniwati, 45 tahun, bersama anak perempuannya, Muliyasari Srihani, 15 tahun. Seniwati bercerita, rumah ini miliak suaminya, Arif Cahyadi, seorang pria keturunan Cina  yang meninggal pada 2007 silam karena sakit jantung. Rumah yang ditinggalinya merupakan warisan dari mertuanya yang lahir di Tiongkok kemudian bermigrasi ke Banyuwangi. Mertuanya meninggal pada tahun 1980an. “Mertua dan suami dimakamkan di kuburan Kluncing,” kata perempuan Jawa ini, Minggu 23 Februari 2014 lalu.

Tidak diketahui kapan rumah toko itu didirikan. Namun bangunan ini telah ada pada awal 1900an seperti yang terlihat pada foto kartu pos yang diterbitkan FH Gruyter tahun 1910 berjudul Banjoewangi Camp China. Dalam foto yang diperoleh penulis dari media-kitlv.nl itu, dulunya bangunan diperkirakan  rumah makan dengan bagian depannya menjual perkakas rumah tangga yang cukup besar dan ramai.

Rumah toko tersebut tertua di bekas Kampung Cina alias Pecinan di Jalan Kapten Piere Tendean. Pecinan menjadi salah satu jejak adanya migrasi orang Cina  ke Banyuwangi.

Migrasi Etnis Cina ke Nusantara

Dalam buku  Nusantara dalam Catatan Tionghoa karya Groeneveldt, orang Cina pertama yang menginjakkan kakinya di Nusantara adalah Faxian, seorang peziarah Budhis. Faxian datang ke Jawa pada 413 Masehi.  Saat itu dia tidak menemukan orang Tionghoa di Jawa dan kembali ke Tiongkok menggunakan kapal India.

Kedatangan orang Cina ke Nusantara pada abad-abad berikutnya didorong oleh faktor politik dan ekonomi. Menurut Hidajat  dalam bukunya Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia (1977:64-65) pada masa Dinasti Sung (960-1280) para pedagang Cina mengunjungi Jawa. Kemudian pada abad 14, Dinasti Ming mengirimkan duta keliling yang dipimpin Cheng Ho ke seluruh daerah-daerah di Asia Tenggara termasuk Jawa. Misi tersebut terdiri dari satu armada yang meliputi 62 kapal dengan pengikut 37.000 tentara. Masa masa Cheng Ho datang di Pulau Jawa ia mencatat bahwa sudah banyak orang Cina yang bertempat tinggal untuk sementara waktu. Mereka kebanyakan bertempat tinggal di Tuban dan Surabaya. Menurut catatan sejarah Cina selanjutnya jumlah imigran Cina makin besar pada abad ke-15 dan ke-16, terutama yang memasuki Jawa dan Sumatra.

Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara China. EE Silaban dalam artikelnya berjudul  Orang Tionghoa di Kota Medan Dalam Konteks Indonesia (2010), mengatakan, mereka termasuk suku-suku: (a) Hakka, (b) Hainan, (c) Hokkien, (d) Kantonis, (e) Hokchia, dan (f) Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Kehadiran VOC pada awal abad 16 turut menyuburkan arus migrasi orang Cina ke Nusantara. Ketika pelabuhan Malaka dan Banten gagal dikuasai, VOC menjadikan Batavia sebagai pusat perniagaan sekaligus pusat pemerintahan. Tahun 1619 benteng Batavia didirikan oleh Jan Piters zoen Coen. Ia mengusahakan agar para orang Cina menetap di Batavia supaya mereka dapat menyediakan pangan dan keahlian pertukangan dalam membangun kota.

Namun bagaimana kehidupan etnis Cina di Indonesia saat ini merupakan bentukan zaman kolonial. Sebelum VOC menguasai Nusantara, etnis Cina dapat terasimilasi dengan baik dengan masyarakat pribumi sehingga tidak pernah muncul gesekan atau konflik. Ketika VOC di Nusantara yang kemudian berlanjut dengan Pemerintahan Hindia Belanda, kehidupan etnis Cina menjadi eksklusif.

Onghokham dalam Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina (2008:20) menjelaskan, orang Cina merupakan mitra dagang bagi orang Belanda, tepatnya semenjak masa VOC, dan mereka tidak pernah kehilangan posisi perantara ini. Namun bukan berarti bahwa hubungan tersebut selalu mulus. Pada kenyataannya, pembunuhan besar-besaran pertama atas orang Cina terjadi di Batavia pada 1740 dan dilakukan oleh anggota masyarakat Belanda di kota tersebut. Setelah peristiwa tersebut Belanda menjalankan pemisahan ras secara resmi. Orang Cina harus tinggal di perkampungan mereka sendiri yang ditemukan di semua kota.

Migrasi Orang Cina ke Banyuwangi

Kedatangan orang Tionghoa pertama kali ke Blambangan yang tercatat dalam sumber sejarah diperkirakan terjadi pada awal abad ke-14 M saat pasukan Laksamana Cheng Ho melakukan muhibahnya ke Majapahit dan Blambangan. Kedatangan pasukan Cheng Ho ke Blambangan pada tahun 1405 itu saat hubungan Kerajaan Blambangan (Kerajaan Timur) dan Majapahit (Kerajaan Barat) dilanda konflik. Menurut Groeneveldt (2009:52), setahun kemudian kedua raja Jawa tersebut saling berperang. Raja Timur kalah dan kerajaannya dihancurkan. Pada waktu itu, utusan kaisar sedang berada di Raja Timur. Ketika prajurit Raja Barat memasuki pasar, 170 orang pengiring utusan ini terbunuh oleh para prajurit tersebut.

Pasca kedatangan pasukan Laksamana Cheng Ho tersebut, tidak ada keterangan lagi mengenai migrasi orang Cina ke Blambangan. Winarsih Partaningrat Arifin (1995:278) dalam kronik lokal, Babad Notodiningratan, menyebutkan, bahwa pada tahun 1631 orang Cina mulai menetap di Blambangan. Mereka banyak memelihara sapi dan babi. Saat itu Blambangan sangat makmur sehingga dapat mengeluarkan beras ke Ambon, Batavia dan Bandha.

Keterangan lain mengenai kehadiran orang Cina tercatat dalam Naskah Malasyia berjudul Tjeritanja Kongtjo Banjoewangi. Menurut Claudine Salmon dan Myra Sidharta (2010), naskah Malasyia itu pernah disalin di Buleleng (Bali) tahun 1880 oleh seseorang yang kakeknya adalah penjaga Hoo Tong Bio di Banyuwangi. Menurut naskah itu, sekitar 1729 sudah ada orang Cina yang menetap di Blambangan. terdapat 4 desa Cina yang telah terbentuk di Banyualit, Kedaleman, Lateng dan Kesatrian. Banyualit adalah pelabuhan maju dengan seorang pemimpin Cina (Chinese syahbandar).

Namun diperkirakan, orang Cina mulai banyak migrasi ke Blambangan untuk menyelamatkan diri pasca terjadinya pembantaian etnis Cina di Batavia pada 1740 yang berlanjut hingga 1741 di Semarang. Hal ini dituliskan oleh Samsubur dalam bukunya Sejarah Kerajaan Blambangan (2011:215): “..pesisir Blambangan menjadi tempat persembunyian para bajak laut suku Bugis dan orang-orang Cina. Ini akibat dari pembunuhan orang-orang Cina di Batavia (Jayakarta) pada 1741 M, masih terasa di sini bagi Kompeni”.

Faktor lain kedatangan orang Cina adalah ekonomi Blambangan yang kaya kayu, sarang burung, dan beras. Faktor ini juga yang menjadikan Pelabuhan Pampang (juga disebut Lopampang atau Ulupampang) di Blambangan saat itu menjadi salah satu pelabuhan tersibuk di sekitar Selat Bali. Banyak pedagang dari berbagai etnis seperti Bugis, Mandar, Cina, Melayu dan Jawa secara teratur berkumpul di sana. Samsubur menjelaskan, di Lopampang itu orang-orang Cina tinggal bersama etnis Bugis dan Mandar Sulawesi. Saat itu, Lopampang menjadi tempat atau kota terbesar untuk perdagangan dan pasar ikan (Samsubur, 2011:291).

Menurut Sri Margana dalam Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (2012), pada 1766, pedagang Inggris (EIC) berminat dengan potensi ekonomi di Blambangan ini. Dengan tiga kapal besar dan seratusan kapal kecil Inggris tiba di Blambangan dibawah komando Edward Cole. Mereka mendekati satu pedagang Cina lokal bernama Encik Lok dan memberinya hadiah dengan permintaan supaya dibantu mendapatkan ijin dari Gusti Agong Mengwi untuk membeli beras di Blambangan. Melalui Encik Lok, pedagang Inggris berhasil bertukar satu paket opium, 21 senjata api dan dua ton mesiun dengan 10 koyan beras. Selain hasil alamnya, suburnya pedagangan di Blambangan disebabkan karena banyak penduduk Blambangan yang menjadi perokok opium. Sehingga Blambangan menjadi potensi pasar opium yang menggiurkan bagi Inggris. Kedatangan Inggris dan bebasnya perdagangan opium di sekitar Selat Bali ini semakin menarik orang Cina untuk datang ke Blambangan.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedatangan orang Cina ke Blambangan adalah untuk berdagang. Etnis Cina telah memainkan peranan penting dalam perekonomian di Blambangan dengan menjadi perantara antara pedagang pribumi, kerajaan dan pedagang Inggris. Rencana Inggris untuk memonopoli perdagangan di Blambangan akhirnya kandas setelah pedagang Belanda (VOC) melakukan invansi pada 1767. Kolonialisme VOC ini kemudian mendapat perlawanan sengit dari rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Wong Agung Wilis. Selain penduduk pribumi, perlawanan Wilis juga didukung oleh orang-orang Cina. Peperangan yang berakhir pada kekalahan pasukan Wilis, berdampak pada banyaknya orang Cina yang dibunuh, ditangkap kemudian dibuang. Tatkala terjadinya pengambilalihan kota Ulupampang pada 13 Mei 1768, VOC mendapatkan 30 orang Cina yang dianggap penting. Dari jumlah itu, hanya dua orang Cina yang selamat yaitu Ong Ap Ko dan Ong To Ko (Samsubur, 2011:323). Banyak juga orang Cina yang ditawan kemudian dibuang ke Srilangka dan India dalam keadaan diborgol/diikat.

Kekosongan orang Cina di Blambangan pasca perang Wilis tersebut mengancam perekonomian VOC. Karena itu VOC segera mendatangkan 100 Cina yang dipimpin oleh seorang Cina dan menjamin kelancaran mereka untuk pergi ke negeri Cina atau sebaliknya. Kaum Cina ini diberi kebebasan untuk mencari bahan-bahan perekonomian seperti kayu jati, kayu-daging, sarang burung wallet di bukit-bukit karang dll (Samsubur, 2011:329).

Pada 21 November 1774, VOC memutuskan untuk memindah ibu kota Blambangan yang semula di Ulupampng ke Banyuwangi. Penyebabnya, Ulupampang berkembang penyakit endemik yang mematikan. Pemindahan ibu kota ini diikuti dengan pemindahan seluruh tempat tinggal etnis-etnis yang semula di Ulupampang. VOC memberlakukan wijkenstelsel atau pemisahan perkampungan berdasarkan etnis.

Thomas Stamford Raffles  dalam History of Java (2008: 38), menyebutkan, hasil sensus penduduk yang dilakukan Pemerintah Inggris di Pulau Jawa tahun 1815,  bahwa jumlah orang Cina yang tinggal di Pecinan Banyuwangi sebanyak 319 orang atau 3,59 persen dari 8.873 jiwa penduduk Banyuwangi kala itu. Jumlah tersebut terdiri dari 166 orang Cina laki-laki dan 153 orang Cina wanita.

Setelah wijkenstelsel dihapus Belanda sekitar tahun 1905, orang Cina mulai keluar dari Pecinan dan memilih tinggal di luar kampung. Karena itu saat ini keberadaan etnis Cina di Banyuwangi tidak hanya bisa ditemui di bekas Pecinan saja melainkan kini mereka sudah tersebar di 24 kecamatan. Mereka umumnya tinggal di sepanjang jalan utama dengan mendirikan sebuah toko.

Bekas Pecinan Banyuwangi

Pecinan Banyuwangi menempati wilayah yang saat ini berada di Kelurahan Karangrejo dan Kelurahan Tukang Kayu. Pecinan di Karangrejo dulunya disebut Pecinan Timur/Wetan dan di Tukang Kayu adalah Pecinan Barat/Kulon. Jalan Kapten Piere Tendean yang dulunya bernama Jalan Stasiun membelah sekaligus menjadi batas kedua kampung. Nama Tukang Kayu muncul karena di daerah itu dulunya dihuni oleh imigran-imigran Cina yang ahli pertukangan. Mereka kebanyakan berasal dari Provinsi Kwantung (sekarang disebut Guangdong). “Termasuk orang tua saya kerja sebagai tukang meubeleir,” kata Ahem, 71 tahun, warga Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Tukang Kayu.

Li Xin Wen, 77 tahun, mengenang, di ujung utara Jalan Tendean dulunya gedung sekolah rakyat (SR) dan sekolah menengah pertama (SMP) Tionghoa Banjoewangi. SR-SMP Tionghoa   (Meng Hua) yang didirikan oleh Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) alias perkumpulan orang Tionghoa, bertujuan untuk mengajarkan bahasa Mandarin. Sekolah ini ditutup tahun 1966 saat pemerintah Orde Baru melarang etnis Cina menggunakan bahasa Mandarin.  Gedung itu kemudian ditempati SMK Pradana hingga tahun 1992. Setelah itu, bangunan gedung yang mulai rusak dirobohkan dan kini berganti  pertokoan yang dimiliki keturunan Cina. “Alumni Sekolah Tionghoa secara rutin berkumpul dan menerbitkan majalah,” kata Li Xin Wen, bekas guru sejarah Meng Hua pada 1955-1958.

Beberapa rumah toko masih berdiri di sepanjang Jalan Tendean ini. Mereka berjualan sembako, perhiasan, kue, Shin She (obat-obatan) dan sebagainya. Menurut M.M Sudarwani (2012), rumah masyarakat Pecinan kebanyakan berbentuk rumah toko karena masyarakat ini memiliki aktivitas yang kebanyakan sebagai pedagang. Rumah toko tersebut berbentuk rumah deret 2-3 lantai dimana lantai satu dimanfaatkan sebagai toko sementara lantai 2-3 sebagai tempat tinggal. “Yang terkenal dulu ada toko babi, studio foto Java Studio dan Depot KHK, restoran Chinese food pertama di Banyuwangi,” kata tokoh Tionghoa ini.

Pecinan beserta Jalan Tendean ini dulunya cukup strategis. Karena di ujung selatannya adalah Stasiun Banyuwangi Lama dan Hotel Slamet. Sebagai stasiun kota, Stasiun Banyuwangi Lama tentunya sangat ramai penumpang. Dan, Jalan Tendean menjadi penghubung penumpang yang meneruskan berdagang ke Pecinan atau Pasar Banyuwangi, urusan pemerintahan, atau bisnis tertentu.

Di Kelurahan Karangrejo, jumlah etnis Cina semakin minoritas. Sebab sejak kebijakan Pecinan dihapus pada 1905, banyak penduduk Cina memilih keluar, baik alasan pekerjaan atau perkawinan. Sehingga bekas Pecinan kini banyak dihuni etnis Jawa dan Madura. Dari pendataan berbasis etnis pada 2004, tercatat etnis Cina peranakan berjumlah 135 jiwa,  etnis Jawa 4.570 jiwa dan Madura 4.125 jiwa.

Namun di Kelurahan Karangrejo ini kita bisa menikmati  bangunan khas orang Cina paling tua yakni Kelenteng Hoo Tong Bio. Kelenteng  memang didirikan oleh komunitas Cina setelah mereka memutuskan diri untuk menetap di suatu tempat. Perkembangan permukiman baru bagi orang Cina yang cukup luas pada sebuah kota, selalu diikuti dengan pendirian kelenteng baru.

Kelenteng Hoo Tong Bio yang terletak di Jalan Ikan Gurame berdiri pada tahun 1784. Kelenteng ini untuk pemujaan Tri Dharma: Taoisme, Khong Hu Chu dan Buddha.  Kelenteng ini menyembah dewa lokal bernama Tan Hu Jincin, selain dewa-dewi dalam ajaran Tri-Dharma. Dari cerita turun-temurun, Tan Hu Jincin berasal dari Propinsi Kwan Tung yang terkenal sangat pintar dalam berbagai pengetahuan dan ketrampilan antara lain sebagai sinse, pakar hong shui, arsitek bangunan dan pertamanan.

Dalam perkembangannya, kelenteng Hoo Tong Bio menjadi pusat atau ‘ibu’ bagi tujuh kelenteng yang menyembah Tan Hu Cinjin di Jawa Timur dan Bali. Tujuh kelenteng itu yakni kelenteng Tik Liong Tian di Rogojampi (Banyuwangi), kelenteng Poo Tong Bio di Besuki (Situbondo), kelenteng Liong Coan Bio (Probolinggo), serta 4 kelenteng Gongzhu miao yang berada di Jembrana, Buleleng, Kuta dan Tabanan. Kelenteng Hoo Tong Bio menjadi kelenteng terbesar dari tujuh kelenteng cabangnya.

(Ika Ningtyas)

5/5 - (1 vote)
Facebook
Pinterest
Twitter
LinkedIn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *